“Menwa itu Mahasiswa yang Banyak Bonusnya!” -Mantan Komandan Satmenwa UGM
Belakangan ini, Menwa menjadi pembahasan masyarakat luas. Ada yang menanyakan relevansi keberadaan Menwa di zaman sekarang, bahkan ada yang belum tau apa itu Menwa. Sebenarnya apa sih Menwa ini?
Menilik sejarah, masa orde lama dan orde baru kala itu memang menjadi masa jaya perbantuan mahasiswa di kegiatan militer. Misalnya saja Menwa UGM, yang kala itu dikirim ke Timur Tengah dan tergabung dalam Kontingen Garuda VIII di UNEF Bufferzone Sinai pada tahun 1978 – 1979 dalam rangka misi perdamaian dunia di daerah perbatasan. Banyak dari alumni Menwa UGM yang dulunya tergabung ke dalam Kontingen Garuda, saat ini menjabat sebagai tokoh penting negara. Misalnya saja, Bapak Budi Karya Sumadi, yang saat ini menjabat sebagai Menteri Perhubungan RI. Ya, beliau adalah alumni Menwa UGM.
Berbeda dengan zaman itu, ketika Menwa masih berada di bawah kendali 4 matra, yakni TNI AD, AL, AU, dan kepolisian. Saat ini, Menwa berada di bawah naungan Rektorat masing-masing kampus, bukan lagi sebagai komponen cadangan, namun sebagai komponen pendukung. Bernaungnya Menwa di dalam kampus tentu memperkuat jati diri Menwa yang sebenarnya. Apa itu? Penyempurnaan pengabdian dengan “ilmu pengetahuan” dan “ilmu keprajuritan”.
Lalu, sebenarnya Menwa itu ngapain aja?
Hal ini yang baru-baru ini sering dipertanyakan. Ditambah lagi dengan adanya pandemi Covid-19 yang telah melanda Indonesia sejak tahun 2020 silam, Menwa yang kegiatannya berbasis “fisik” seakan lenyap ditelan pandemi. Arti kata “fisik” bukan melulu soal kekerasan. Anggota Menwa UGM dilatih untuk mencapai kondisi fisik yang samapta guna menunjang kegiatan sehari-hari. Apa itu samapta? Yup, samapta berarti kesiapan fisik, atau bisa dijelaskan sebagai “dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa merasakan kelelahan yang berarti”. Bayangkan saja, dengan fisik yang samapta, kita bisa mengerjakan berbagai jenis tugas kuliah maupun organisasi tanpa merasakan kelelahan yang berarti. Cukup menarik bukan? Ya, itu baru satu dari sekian banyak kegiatan bermanfaat yang dilakukan oleh Menwa UGM. Lalu ada kegiatan apa lagi?
Menilik kembali jati diri Menwa yang mengandung diksi “ilmu pengetahuan” dan “ilmu keprajuritan”, yang membedakan Menwa dengan prajurit tempur adalah bahwa anggota Menwa terdiri dari mahasiswa-mahasiswa intelektual yang berasal dari berbagai macam program studi. Kolaborasi antar berbagai macam program studi inilah yang menjadi kekuatan utama Menwa.
Misalnya saja, ada anggota Menwa yang berasal dari program studi Ilmu Komputer, Matematika, Psikologi. Tentu harapannya adalah bahwa anggota-anggota tersebut bisa bekerja sama dalam menerapkan ilmu yang didapatkan selama perkuliahan guna menyelesaikan suatu problematika tertentu.
Menyelam lebih dalam lagi, sebagai contoh, Menwa UGM rutin melakukan latihan menembak (walaupun hanya senapan angin, but it’s ok). Dalam latihan tersebut, seorang anggota merasa kebingungan karena hari ini hasil tembakannya banyak yang meleset, padahal minggu kemarin dia menjadi anggota dengan hasil tembakan terbaik. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, apa yang menyebabkan hal tersebut? Dalam hal ini, tentu seseorang dengan latar belakang psikologi bisa menggali masalah tersebut, dari sudut pandang psikologi tentunya, yang kemudian oleh anggota dari program studi matematika menterjemahkannya ke dalam bahasa matematis yang menyiratkan seberapa besar skala penyimpangan yang terjadi saat seseorang mengalami gejala psikologi tertentu. Anak komputer? Ya seperti biasa, melakukan otomatisasi terhadap teori matematis yang telah diungkap sebelumnya. Sangat menarik bukan?
Lalu di mana letak ilmu keprajuritannya? Satu hal sudah dijelaskan, yaitu fisik yang samapta. Apakah tanpa fisik yang samapta, penelitian yang dicontohkan pada kasus di atas bisa dilaksanakan? Tentu tidak. Hal ini tentu memperlihatkan seberapa pentingnya kesamaptaan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya kucuran keringat, tapi penumbuhan semangat. Bukan hanya pamer otot, tapi demi tubuh yang tidak meleyot.
Ilmu keparjuritan lain? Banyak sekali. Ada menembak, rapelling, SAR, PPGD, caraka dan penyamaran, survival hutan, lempar pisau, pengamanan, bela diri, IMPK, halang rintang, dan masih banyak lagi dan tentunya hampir mencakup semua materi yang diajarkan di lembaga pendidikan militer, tentu dengan cara pengajaran yang sedikit berbeda karena kita adalah seorang mahasiswa, bukan seorang tentara.
Tentunya tidak semua skill tersebut bisa dikuasai secara penuh. Ya, anggap saja sebagai salah satu ajang pencarian bakat. Kita tidak akan pernah tahu bahwa kita memiliki bakat yang cukup baik dalam menembak kalau kita tidak pernah mencobanya secara langsung kan? That’s the point!
Ada apa lagi? Terjun payung. Walaupun termasuk salah satu olahraga dengan biaya yang sangat mahal dan resiko yang cukup tinggi, Menwa UGM patut berbangga karena dapat melaksanakan kegiatan ini bahkan tanpa harus menjadi seorang tentara. Pendidikan terjun payung biasa dilaksanakan di Markas Komando Pasukan Khas TNI AU.
Wait? Pasukan Khas? Latihannya pakai kekerasan dong? Tentu tidak! TNI tau, bahwa kita, yang mereka latih, adalah seorang mahasiswa. Maka dari itu, diperlukan adaptasi dan penyesuaian terhadap mekanisme latihan yang dilakukan. Namun, mengingat kegiatan ini adalah kegiatan yang resikonya cukup besar, kedisiplinan adalah hal mutlak yang harus dijunjung tinngi. Pepatah mengatakan, “tidak masalah dibentak sekali dua kali dari pada nyawa melayang untuk yang terakhir kali”.
Seorang anggota Menwa juga dilatih untuk bisa beradaptasi terhadap segala situasi dan kondisi serta harus kuat secara fisik dan mental. Apa gunanya? Ya misalnya untuk palaksanaan latiha terjun payung ini. Terjun dari pesawat hanya butuh fisik? Tentu tidak. Mental baja juga harus dipersiapkan untuk bisa menghadapi segala kemungkinan yang terjadi saat melayang di udara. Untuk alasan itulah ada tahapan pendidikan yang harus dilalui, yakni pra pendidikan dasar, pendidikan dasar, dan pembaretan.
Metode pelatihan yang diberikan ketika pelaksanaan pendidikan pun bukan sepenuhnya sama seperti metode yang digunakan oleh lembaga pendidikan militer. SOP yang kami, Menwa UGM, pegang teguh sampai saat ini adalah “jangan ada kekerasan di antara kita”. Sudah ada persetujuan hitam di atas putih mengenai pelaksanaan pendidikan tersebut dengan pihak Kemahasiswaan UGM. Kontak fisik sangat diharamkan di Menwa UGM, dan inilah peran seorang Komandan Latihan di lapangan untuk memastikan semua berjalan sesuai SOP yang telah disetujui bersama.
Kita, Menwa, Menwa UGM, mengambil budaya positif militer untuk mendidik anggota agar menjadi manusia yang lebih baik. Begitulah poin yang selama ini ditanamkan di Menwa UGM, tidak hanya sekedar tradisi turun temurun dengan baku hantam yang tidak ada artinya. Kita adalah kaum mahasiswa yang intelektual, kaum multi disciplinary!
Banyak hal yang bisa didapatkan di Menwa UGM, bahkan seorang mantan Komandan pernah bilang, “Menwa UGM itu mahasiswa yang banyak bonusnya”. Ya, memang betul. Bonus-bonus tersebut bisa diambil dan bergantung pada seberapa besar kemauan dan usaha kita untuk mengambil bonus tersebut. Oleh karena itu, tentu keberadaan Menwa UGM masih sangat bisa dan patut dipertahankan dan diadaptasi sesuai dengan perkembangan zaman untuk mewujudkan Menwa yang samapta dan cendekia.
Leave a Response