“Menwa bergerak dari sanubarinya masing-masing, sejak awal jiwa bela negara kami sudah ada.”
KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – “Saya tahu Menwa (Resimen Mahasiswa) ya setelah jadi mahasiswa di sini (UGM),” demikian kalimat yang dituturkan Ir. Budi Setiono saat dijumpai Kagama beberapa waktu lalu.
Udhiek, sapaannya, mengaku coba-coba mendaftar Resimen Mahasiswa UGM sekitar 1981.
Tak dinyana, alumnus Kehutanan UGM angkatan 1979 itu diterima jadi anggota.
Yakni setelah dia menjalani pendidikan di Pusat Latihan Tempur Kodam 4 Diponegoro, Klaten.
Hari-hari menjadi anggota Menwa UGM dijalani Udhiek tanpa beban.
Sebab, dia percaya setiap orang yang menjadi anggota Menwa adalah orang-orang yang tergerak jiwanya.
“Menwa bergerak dari sanubarinya masing-masing, sejak awal jiwa bela negara kami sudah ada,” kata Udhiek.
Hal itulah yang menurut Udhiek membuat Menwa lain dengan latihan bela negara yang diadakan suatu instansi.
Baginya, tak mungkin seorang karyawan suatu instansi mau mengikuti latihan bela negara jika tidak diperintah oleh pimpinannya.
Setelah menjadi anggota, jabatan Udhiek di Menwa UGM kemudian naik menjadi wakil ketua sekretariat di bawah sang ketua, Gatot Waskito.
Hanya saja, sebuah insiden membuat Udhiek kembali naik menjadi ketua sekretariat.
Dia mengisahkan, waktu itu Gatot bersama teman-temannya dari Palapsi (Pecinta Alam Psikologi) UGM sedang melakukan arung jeram di Sungai Bawang, Bantul.
Nahas nasib mereka, Gatot dan tiga orang temannya hilang.
Udhiek bersama Menwa UGM, para mahasiswa Psikologi, dan pihak berwenang telah melakukan pencarian.
Namun, Gatot tak pernah ditemukan sampai sekarang.
“Otomatis kosong jabatan kasetnya. Sehingga, Saya yang merupakan wakil, naik jabatan menggantikan almarhum,” kenang Udhiek.
Dari sana, ayah tiga orang anak ini naik lagi menjadi wakil komandan batalion lantas komandan batalion (sekarang komandan satuan) Menwa UGM.
Menariknya, Udhiek tidak cukup satu periode dalam menjabat komandan batalion.
“Saya menjadi satu-satunya komandan di sini (Menwa UGM) yang menjabat selama dua periode,” tutur Udhiek.
“Tahun 1982-1984 dan 1984-1986, waktu itu dua tahun tiap periode,” jelasnya.
Udhiek mengatakan, semestinya saat itu dia diganti.
Namun, karena hasil musyawarah kembali memilihnya, apa boleh buat dia menyanggupinya.
Udhiek lantas teringat apa saja hal yang membanggakan baginya saat menjadi komandan batalion Menwa UGM.
Pertama, Menwa pimpinannya mengadakan acara bertajuk Gita Laksita Wirasisya di Purwokerto (sekitar 1983).
Di kegiatan yang berlangsung selama tiga hari itu, Udhiek mengajak perwakilan Menwa se-Indonesia.
“Kegiatan itu adalah napak tilas tentara pelajar zaman dulu,” tuturnya.
Lebih mengesankan lagi, Menteri Transmigrasi Martono (1983-1988) dan Wakil Rektor UGM R. Soepono hadir dalam Gita Laksita Wirasisya. Keduanya merupakan tokoh tentara pelajar.
Udhiek menjelaskan, kegiatan tersebut memiliki tujuan untuk menanamkan jiwa patriotisme dan kepemimpinan.
Serta menyadarkan mahasiswa tentang betapa sulitnya mempertahankan NKRI.
Hal kedua yang membuat Udhiek bangga saat menjadi komandan batalion Menwa UGM adalah terlaksananya pendidikan terjung payung para dasar.
Waktu itu, ada 10 peserta perwakilan dari UGM.
“Itu terjun payung sederhana, terjun payung statis. Payung pasti mengembang karena diikatkan di pesawat saat dibuka,” ucap Udhiek.
“Selama melompat dengan benar dari pesawat, tidak ada masalah yang terjadi,” terangnya.
Udhiek mengatakan, pendidikan terjun payung sebetulnya sudah ada sebelumnya.
Namun, dulu terjun payung menjadi satu dalam Suskapin (Kursus Kader Calon Pemimpin).
Hanya saja, jarang sekali ada wakil dari UGM yang ikut Suskapin karena agenda berlangsung selama 3 bulan dan tempatnya di Jakarta.
Bagi Udhiek, latihan terjun payung bisa melatih keberanian dan tanggung jawab untuk menyelamatkan diri sendiri.
“Di situ kami belajar SOP yang benar, kepercayaan diri, keberanian dan tanggung jawab agar payung bisa mengembang,” ujar Udhiek.
“Saat sudah berada di angkasa, Anda tidak bisa minta tolong siapa-siapa, harus diselesaikan sendiri,” jelas Ketua Keluarga Alumni Resimen Mahasiswa UGM (Kamenwagama) ini.
Adapun program ketiga yang berkesan bagi Udhiek adalah Pendidikan SAR (Search and Rescue) Nasional.
Dia mengatakan, Menwa dulu menjadi andalan UGM saat ada musibah di sekitar lingkungan.
Pasalnya, kampus yang lahir pada 1949 ini belum punya Tim SAR waktu itu.
Untuk itu, dia ingin beberapa UKM yang punya jiwa SAR untuk membuat tim sendiri.
“Kami menyelenggarakan pendidikan SAR mahasiswa se-Indonesia. Pesertanya dari mana-mana,” kata Udhiek.
Udhiek, yang pensiun dari Perhutani pada 2015, menjelaskan bahwa pendidikan SAR Nasional itu merupakan yang pertama di UGM.
Di kegiatan itu, ada sekitar 100 orang yang mengikuti pelatihan selama 5 hari. Mereka dilatih oleh profesional dari marinir.(Ts/-Th)
Leave a Response